Kamis, 13 Juni 2013

Resensi Film Favorit: CATATAN AKHIR SEKOLAH


Judul: CATATAN AKHIR SEKOLAH
Sutradara: Hanung Bramantyo
Skenario: Salman Aristo
Pemain: Ramon J. Tungka, Marcel Chandrawinata, Vino G. Bastian
Produksi: Rexinema
Sudah mulai jengkelkah kita dengan film-film remaja di televisi? Remaja cantik versus remaja jahat dengan cerita dan persoalan di luar akal sehat?

Alhamdulillah, sutradara Hanung Bramantyo (memulai debutnya dengan film Brownies) dan penulis skenario Salman Aristo tidak masuk dalam kategori sineas klise yang ingin asal bikin film. Jadi, jangan kaget dan silakan terkesiap ketika muncul adegan awal yang orisinal--untuk ukuran sinema Indonesia--dan dahsyat itu. Kamera yang dipegang Tommy Jepang pada awal adegan awal berlangsung tanpa jeda, tanpa cut, selama delapan menit yang panjang. Rekaman itu memperkenalkan kehidupan anak-anak SMU Fajar Harapan yang kita kenal sebagai sebuah keseharian di lorong-lorong sekolah, di lapangan basket, di toilet, di dalam kelas, di luar kelas, di ruang pemutaran film, atau di kantin.

Adalah tiga lelaki SMA atau kelompok A3 yang "cupu" (culun punya = ini istilah masa kini untuk para pecundang). Mereka terdiri dari Agni (Ramon J. Tungka), kepala geng berkacamata, keras kepala, dan penuh teori; Alde (Marcel Chandrawinata, pemain baru dengan penampilan bersinar), sosok yang paling ganteng tapi pemalu dan anggota band di sekolahnya; dan Arian (Vino Bastian), yang meledak-ledak (setiap ledakan ditunjukkan dengan akting yang sama: sepasang tangan yang sibuk dengan suara yang nyaring), setia kawan, dan menggampangkan persoalan.

Untuk menggebrak "sejarah" dan menghancurkan citra "cupu", ketiga pecundang ini bersepakat membuat sebuah film dokumenter tentang kehidupan sekolah mereka: bagian gelap dan bagian penuh cahaya. Rekaman tentang mereka yang hidup dari menyontek dan mereka yang "tidak pernah menyontek seumur hidup". Atau rekaman anak masjid yang memulai kalimatnya dengan kutipan ayat Quran hingga membuat ketiga anak ini buru-buru salat karena ingin menjauhkan diri dari api neraka.

Rekaman tentang mereka yang kabur dari kelas dan klepas-klepus merokok di belakang sekolah; mereka yang OD (overdosis) narkoba; tentang seorang kekasih sialan yang kasar bernama Ray (Christian Sugiono) yang menampar pacarnya yang jelita dan ringkih, Alina (Joanna Alexandra). Tetapi dokumenter ini juga merekam mereka yang memberikan cahaya pada pendidikan, seperti guru-guru yang mengajar karena memang percaya bahwa setitik kontribusi dalam kelas adalah fondasi pada karakter anak-anak.

Ide cerita yang lahir dari Salman Aristo yang, menurut pengakuannya, "diawali oleh rasa sebal yang luar biasa saat menonton tayangan remaja di televisi" adalah sebuah upaya dokumentasi yang menjungkirbalikkan semua tayangan sinetron remaja di televisi. Artinya, film ini "melawan" stereotip sinetron, yang selalu menunjukkan tokoh anak-anak SMA yang baik (cantik atau ganteng) versus yang jahat (cantik, jahat, judes, dan penuh muslihat di luar akal sehat) yang lantas diwarnai dengan satu sosok nerd yang berkacamata tebal, yang hanya dirubung siswa pada saat ulangan, atau satu sosok gendut atau bencong yang fungsinya untuk ditertawakan penonton.

Film Catatan Akhir Sekolah adalah bentuk yang mendekati realitas anak-anak sekolah masa kini, justru karena para sineasnya tak harus memajang wajah-wajah ganteng dan kemewahan yang tak masuk di akal. Wajah 1.000 figuran anak sekolah yang "cuma" figuran itu tampil berkeringat, bau angkot dan metromini, diselingi shot-shot toilet jorok SMA atau upaya masturbasi seorang siswa lelaki yang mengintip rok siswi di kelasnya, yang tampak begitu nyata dan tidak dipulas kosmetik apa pun.

Jika sosok Pak Boris (Joshua Pandelaki yang tampil komikal) disajikan sebagai tokoh antagonis--kepala sekolah genit, korup, dan diskriminatif--tentu saja karena sutradara Hanung Bramantyo dan penulis Salman Aristo pada akhirnya membutuhkan contoh karakter amoral yang harus diberi ganjaran. Pembuktian? Bukankah tiga anak ini tengah membuat film dokumenter? Anda bisa menebak, akhir film ini kemudian jadi banyak keinginan seperti penyakit film Hollywood dan film Indonesia yang kepingin betul penontonnya merasa "plong".

Film dokumenter yang bagus banget itu disajikan dalam pesta akhir tahun sekolah. Ini termasuk tingkah polah Pak Boris dengan duit yang menghebohkan khalayak penonton. Seiring keramaian pesta itu, persoalan cinta kelompok A3 itu sekaligus "diselesaikan"; murid korban narkoba itu tampak "kembali ke jalan yang benar"; murid sialan yang beraninya gampar cewek itu cemberut melihat tayangan dirinya; dan seterusnya.

Oh ya, dan malam itu juga Pak Boris yang korup dikerubungi guru dan satpam, entah mau dibawa ke mana, mungkin ke polisi, mungkin ke "pengadilan internal". Pokoknya, dia diganjar! Lucu. Hanung dan Salman toh ingat, dalam realitas, koruptor dan penjahat di Indonesia jarang bisa diganjar justru karena kita hidup di negara yang paling korup di dunia. Artinya, dalam hidup nyata, sosok Boris akan tetap hidup dengan jaya. Kelompok A3 itu malah biasanya akan dicerca.

Akhir film yang kontradiktif dari seluruh realitas yang dibangun sejak awal mungkin memperlihatkan: sineas Indonesia memang masih belajar. Tidak apa-apa. Ini tetap film yang bagus, yang orisinal, layak tonton, dan layak dicatat sebagai salah satu film Indonesia yang berani melawan kedunguan televisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar