Senin, 24 Oktober 2011

Musim kemarau berkepanjangan, Kekeringan menngancam sejumlah daerah di Indonesia

Default Musim kemarau berkepanjangan, Kekeringan menngancam sejumlah daerah di Indonesia

Tujuh Kecamatan di Bojonegoro Krisis Air Bersih

TEMPO Interaktif, Bojonegoro - Tujuh kecamatan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, saat ini mengalami krisis air bersih. Mata air dan belasan sungai yang menjadi kantong air telah mengering sejak sebulan terakhir.

Berdasarkan pantauan Tempo, tujuh kecamatan yang mengalami krisis air bersih adalah Kecamatan Kedungadem, Sugihwaras, Sukosewu, Temayang, Ngasem, Bubulan, dan Kecamatan Kasiman.

Krisis air bersih akan terus meluas. Apalagi sudah lebih dari dua bulan terakhir ini wilayah kabupaten yang terletak di perbatasan Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah itu tidak pernah turun hujan.

Beberapa anak sungai Bengawan Solo seperti sungai di Kalitidu, Semarmendem, sungai di Padangan, juga sungai di kawasan Tinggang, sudah kering akibat kemarau panjang.

Sejumlah desa yang selama ini mengandalkan sumber air dari anak sungai Bengawan Solo harus berjalan kaki hingga tiga kilometer untuk mencari air bersih di beberapa lokasi mata air (sendang). Debit air di setiap sendang juga kian kecil.

Desa-desa yang paling parah di antaranya Desa Wotanngare, Ngasem, Sidomukti, Besah, dan Desa Sambeng.

Sebagian warga bahkan terpaksa membeli air bersih, yakni air galon isi ulang untuk keperluan minum dan memasak. Warga pun tidak bisa setiap hari mandi dan mencuci pakaian. ”Air terbatas dan sulit didapat. Ya, harus hemat karena musim kemarau masih panjang,” ujar Fathoni, warga Desa Sidomukti, ketika ditemui Tempo, Minggu, 11 September 2011.

Selain tujuh kecamatan yang meliputi 23 desa masih ada beberapa kecamatan lain yang juga rawan krisis air bersih. Terutama di daerah terpencil seperti Kecamatan Margomulyo, Ngraho, dan sebagian di Kedewan yang terletak di Bojonegoro bagian barat daya dan barat laut.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Kabupaten Bojonegoro, Kasiyanto, mengatakan pihaknya akan mendistribusikan bantuan air bersih. Warga yang membutuhkan air bersih diminta melaporkan ke desa untuk kemudian dikoordinasi pelaksanaannya oleh pihak kecamatan. ”Prosedurnya memang seperti itu agar jelas pendistribusiannya kepada yang paling membutuhkannya,” ujarnya kepada Tempo Minggu siang, 11 September 2011.

Kasiyanto mengakui dari 23 desa di tujuh kecamatan yang sudah termonitor tersebut masih ada beberapa lokasi yang belum dilaporkan kepada BPDB Kabupaten Bojonegoro. Di antaranya Desa Ngasem, Kecamatan Ngasem. Namun di daerah ini kerap mendapat suplai air bersih melalui mobil tangki dari Pemerintah Kabupaten Bojonegoro.

Diakui Kasiyanto, pihaknya tidak bisa segera memenuhi secara serentak kebutuhan air bersih di seluruh desa. Jumlah armada mobil tangki air sangat terbatas, yakni hanya empat unit. Jarak desa-desa yang mengalami krisis air bersih juga cukup jauh.

Kekeringan, Warga Kota Tegal 3 Bulan Konsumsi Air Kotor

TEMPO Interaktif, Tegal - Kekeringan yang terjadi saat ini memaksa sejumlah warga di Kota Tegal, Jawa Tengah, mengkonsumsi air tak layak yang telah keluar dari sumur mereka. Kondisi ini terpaksa dilakukan karena tak ada sumber air alternatif.

"Sudah hampir empat bulan ini saya dan warga kampung menggunakan air kotor. Semua sumur di kampung ini airnya sama, keruh dan berwarna kuning kecokelatan," ujar Cayem, 65 tahun, warga RT 08 RW 02 kelurahan Kalinyamat Kulon, kecamatan Tegal Selatan, Minggu 11 September 2011.

Penggunaan air kotor untuk kebutuhan hidup sehari-hari ini terpaksa dilakukan karena minimnya suplai air bersih dari pemerintah daerah setempat. "Kalaupun ada harus membeli Rp 1.000 per jeriken ukuran 5 liter dari pedagang keliling," ujar Cayem.

Menurut Cayem, warga mesti mengolah air kurang layak ini sebelum dikonsumsi untuk memasak dan minum dengan cara diendapkan selama beberapa saat untuk menghilangkan warna. Ia juga mengaku air keruh ini berdampak saat digunakan mandi. Hal ini dibuktikan dengan gejala gatal pada kulit tubuh mereka.

Di Desa Kalinyamat Kulon, Kecamatan Tegal Selatan, terdapat kurang lebih 3.000 warga menggunakan air tak layak saat musim kemarau seperti sekarang. Meski ada sejumlah warga yang membuat sumur artesis, tak semua warga kampung bisa menikmati karena jumlahnya terbatas.

Kepala Seksi Perlindungan Masyarakat Kantor Kesatuan Kebangsaan Politik dan Perlindungan Masyarakat Kota Tegal Soni Sontani mengaku belum ada pengajuan permintaan air bersih dari warga setempat. "Tak satu pun kelurahan di Kota Tegal yang mengajukan bantuan air bersih," ujar Soni.

Ia mengatakan segera berkoordinasi dengan kepala desa untuk menyelesaikan krisis air yang terjadi seperti sekarang. Langkah ini dilakukan dengan cara berkoordinasi dengan perusahaan air minum daerah Kota Tegal untuk suplai menggunakan truk tangki.

Rencananya Pemerintah Kota Tegal memberikan instalasi pipa air dari perusahaan air minum daerah untuk sejumlah daerah yang rawan krisis air bersih. "Namun sekarang masih proses lelang dan baru pengerjaan," ujar Soni.

Menurut Soni, pembangunan instalasi ini untuk menjaga kebutuhan jangka panjang, sedangkan jangka pendek akan disuplai dengan truk sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Debit Sungai Cisadane Menyusut Drastis

TEMPO Interaktif, Tangerang - Musim kemarau mengakibatkan air Sungai Cisadane menyusut. Debit air yang mengalir ke Bendungan Pintu Air Sepuluh Sangego yang menjadi bahan baku air bersih untuk Kota Tangerang mengalami penurunan drastis. Pantauan Tempo pada Ahad, 11 September 2011 menunjukan di sekeliling bendungan kering, bahkan sedimen lumpur mengeras dan retak-retak.

Penjaga Bendung Pintu Air Sepuluh, Supriyanto mengatakan air Cisadane mulai menyusut sejak awal datangnya bulan Ramadan lalu. Padahal kata Supri, batas normal debit air di bendungan itu mencapai 12,5 meter. “Tapi sekarang cuma 11,5 meter, makanya kami mengutamakan kebutuhan air baku,” kata Supri, penjaga bendungan, Minggu 11 September 2011.

Menurut Supri, penyusutan Sungai Cisadane ini belum bisa dikatakan kritis. Sebab, air Sungai Cisadane masuk ke fase kritis bila debit air hanya 10,50 meter. Oleh karena itu selama musim kemarau masih berlangsung, maka pengelola bendungan tidak akan membuka pintu air.

Debit air Sungai Cisadane yang saat ini 11,5 meter dipertahankan sampai batas normal air kembali seperti semula yakni 12,5 meter. "Turunnya air sungai Cisadane juga berakibat kepada kekeringan lahan pertanian di Kota dan Kabupaten Tangerang," ujar Supri yang menjaga bendungan sejak 1985.

Direkur utama Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Benteng, Ahmad Marju Kodri mengatakan menyusutnya air Sungai Cisadane berpengaruh kepada penyediaan bahan baku. Sebab, kawasan Pintu Air Sepuluh menjadi salah satu pengambilan air bagi perusahaan air minum plat merah itu dan perusahaan air swasta di Tangerang.

Namun dipastikan Kodri hal itu tidak berpengaruh besar terhadap pasokan air bersih. Sebab PDAM Tirta Benteng sudah menyiapkan pasokan air dari instalasi pengelolahan air di hilir sungai Cisadane. "Dengan keberadaan letak PDAM sebagai pengelolahan air di hilir sungai, maka pasokan air terus mencukupi untuk disalurkan kepada pelanggan air bersih,"kata Kodri.

Kodri juga mengatakan pelanggan PDAM tidak perlu khawatir dengan datangnya musim kemarau. Sebab kondisi seperti itu bisa diatasi selama musim kemarau berlangsung. “PDAM sebagai salah satu perusahaan air minum di Tangerang bertanggung jawab menyediakan suplai air kepada masyarakat,” ujar Kodri.

Warga di Kabupaten Kediri Mulai Konsumsi Gaplek

TEMPO Interaktif, Kediri - Sedikitnya enam kecamatan di Kabupaten Kediri mengalami kekeringan hebat. Keringnya sumber mata air ini juga membuat sebagian warga mulai mengkonsumsi gaplek.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, warga yang mulai mengkonsumsi gaplek terdapat di Dusun Blimbing, Desa Karanganyar, Kecamatan Mojo. Makanan berbahan dasar ketela ini lebih mudah didapatkan dibandingkan padi yang membutuhkan pasokan air dalam jumlah besar.

Miyati, 38 tahun, ibu rumah tangga di Dusun Blimbing mengatakan intensitas mengkonsumsi gaplek meningkat sejak wilayahnya dilanda musim kemarau. Gaplek yang sebelumnya dimanfaatkan warga sebagai selingan beras, saat ini gaplek menjadi makanan utama. “Setiap hari makan gaplek karena beras sangat sulit,” katanya, Minggu, 11 September 2011.

Bersama tujuh anggota keluarganya, perempuan yang bekerja sebagai penjual jajanan ini menghabiskan tak kurang satu setengah kilogram gaplek setiap harinya. Dia cukup beruntung memiliki sepetak lahan yang ditanami ketela. Untuk kebutuhan gaplek, Miyati tak perlu membeli seperti warga lainnya. Harga gaplek ini relatif murah dibandingkan beras, yakni Rp 1.600 per kilogram.

Kekeringan telah melanda sebagian besar warga di lereng Gunung Wilis. Sebanyak lima kecamatan di kawasan ini sudah tak memiliki pasokan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Selain mengancam kelangsungan manusia, kondisi ini juga merusak lahan pertanian warga.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Kediri Edhi Purwanto mengatakan, Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) setempat melaporkan enam kecamatan di wilayahnya mengalami kekeringan, yakni Kecamatan Semen, Tarokan, Mojo, Banyakan, Grogol, dan Kecamatan Kepung. “Rata-rata daerah pegunungan,” kata Edhi kepada Tempo.

Edhi menambahkan, lebih dari 2.477 kepala keluarga dilaporkan tak mendapat air bersih setiap harinya. Meski berusaha mendalamkan sumur, namun sumber air tak kunjung muncul.

Karena itu pemerintah daerah setempat berusaha membantu penggalian sumur menggunakan peralatan bor. Dengan peralatan ini, warga bisa menggali sumur hingga kedalaman 500 meter. Namun, upaya pengeboran tidak serta merta mengatasi kebutuhan air bagi seluruh warga. Sebab tak semua lokasi atau titik yang digali masih menyimpan air. “Terpaksa satu sumur untuk kebutuhan satu perkampungan,” ujar Edhi.

kekeringan yang semakin mengancam kelangsungan hidup di indonesia,
semoga ini cepet berakhir


http://forum.detik.com/musim-kemarau-berkepanjangan-kekeringan-menngancam-sejumlah-daerah-di-indonesia-t288624.html
Reply With Quote