Indonesia mungkin salah satu negara terajaib di dunia, di mana hampir setiap
minggu terjadi wacana pemakzulan (impeachment) kepada presiden dengan alasan
apa pun, dari ketidakmampuan untuk mengangkat harkat rakyat miskin, kerusuhan
agama, sampai karena presiden tidak mau (atau tidak mampu secara hukum) untuk
membubarkan Ahmadiyah. Fenomena ini terjadi karena dua hal: pertama adalah
karena kesuksesan para politisi dalam memakzulkan Gus Dur dan karena
popularitas SBY yang dianggap terlalu tinggi.
Tulisan singkat ini akan membahas kedua penyebab fenomena itu dan kemudian
dilanjutkan dengan implikasi dari wacana pemakzulan ini. Intinya, walaupun
wacana pemakzulan dikumandangkan sebetulnya untuk mencegah berdirinya kembali
sebuah pemerintahan otoriter ala Orde Baru, tapi dampaknya justru akan
mengurangi keseriusan dari proses pemakzulan itu sendiri, dan ujungnya akan
berbahaya untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Asal mula fenomena pemakzulan bisa dilacak dari pada saat kejatuhan
Pemerintahan Gus Dur, di mana elit-elit politik Indonesia, yang sudah gerah
atas tingkah laku Gus Dur, dengan menggunakan alasan skandal korupsi Bulogate,
bersepakat untuk menjatuhkan Gus Dur. Jatuhnya Gus Dur sendiri, walau dipengaruhi
banyak faktor, terutama dengan bersatunya semua kelompok politik Indonesia dan
tentara Indonesia, menjadi sebuah tonggak sejarah penting. Bahwa pertama
kalinya seorang presiden atau pemimpin di Indonesia bisa dijatuhkan lewat jalur
hukum, tanpa kekerasan, tanpa menggunakan jalur kudeta, dan setelah
kejatuhannya pun, tak ada kekacauan, perang saudara, krisis berkelanjutan dan
sebagainya.
Rupanya, presiden bukan lagi seorang tokoh yang tak bisa diganggu gugat, ala
Sukarno atau Suharto, tapi hanya seorang politisi biasa.
Karena proses dan kesudahan dari jatuhnya Gus Dur relatif mulus (juga
disebabkan karena Gus Dur memang Gus Dur, tak peduli tapi sekaligus berjiwa
besar), maka pemakzulan menjadi dianggap alat politik yang normal. Wacana
pemakzulan pun masuk ke kancah perbendaharaan politik Indonesia, di mana untuk
mengontrol tingkah laku seorang presiden, wacana pemakzulan selalu
dikumandangkan.
Tak heran, sewaktu SBY terpilih dengan angka yang cukup tinggi (62%) dan
popularitasnya yang kelihatannya terus tinggi di masyarakat, wacana pemakzulan
pun semakin rajin dikumandangkan. Kelihatannya memang ada ketakutan bahwa SBY,
dengan popularitasnya yang tinggi, akan mencoba menggunakan popularitasnya
tersebut untuk mengubah konstitusi, membuat dirinya bisa terpilih terus, atau
melakukan kudeta eksekutif, seperti dengan Dekrit, yang dilakukan Sukarno di
tahun 1959. Apalagi mengingat DPR, yang seharusnya menjadi pengawas dan
pengontrol fungsi badan eksekutif, justru mengalami penurunan popularitas yang
luar biasa, sampai meraih angka 20%.
Di saat badan eksekutif terlalu kuat dan populer, maka ancaman pemakzulan
pun terus dikumandangkan untuk memberikan peringatan kepada eksekutif bahwa
jangan sampai ia mencoba menjadi Tuhan.Apalagi mengingat SBY memang terlalu berhati-hati,
kelihatannya para politisi menemukan senjata konta yang bisa membuat SBY diam
seribu bahasa dan tak mampu untuk mengubah popularitas yang begitu tinggi
menjadi mandat untuk bertindak tegas dan melakukan terobosan-terobosan
kontroversial tapi diperlukan untuk bangsa.
Bahwa SBY pun masih merasa perlu untuk menjawab tantangan dari organisasi
sekelas FPI soal wacana pemakzulan, memperlihatkan bahwa wacana pemakzulan
memang sangat ditakuti dan bisa menjadi senjata bagi ormas-ormas lain yang
ingin didengar.
Namun yang menjadi permasalahan adalah semakin masuknya wacana pemakzulan ke
kosa kata perpolitikan Indonesia, semakin ide pemakzulan itu sendiri kehilangan
kredibilitasnya dan kewibawaannya. Bahwa organisasi jalanan seperti FPI berani
menggunakan kata pemakzulan kepada pemerintah yang dipilih dengan sah melalui
pemilu, memperlihatkan bahwa pemakzulan pun sudah kehilangan makna sakralnya.
Pemakzulan harusnya menjadi alat kontrol paling ujung DPR dan MPR kepada
eksekutif, semacam tombol yang meledakkan bom nuklir. Jika wacana pemakzulan
ini terlalu sering dilempar ke luar, akibatnya adalah masyarakat pun tak lagi
menganggap pemakzulan adalah hal yang serius. Pemakzulan bukan lagi pilihan
terakhir untuk mengekang badan eksekutif yang dianggap sudah melanggar tatanan
hukum dan peraturan. Pemakzulan menjadi alat pemaksaan, bahwa karena saya bisa
memakzulkan kamu, kamu harus tunduk. Itu bukan demokrasi. Itu adalah ciri
negara yang tak tahu hukum dan peraturan.
Penurunan derajat kata “pemakzulan,” dari alat untuk mengontrol pemerintah
menjadi alat untuk lempar-lemparan lumpur dan bahasa jalanan sebuah organisasi
preman, yang mewakili mungkin hanya seperseratus dari seperseribu rakyat
Indonesia yang mayoritas adalah moderat dan justru menentang aksi-aksi anarkis
yang belakangan ini terjadi, merupakan sebuah gejala yang sangat buruk dan
merusak kredibilitas istilah ini.
Bahkan jika memang di masa depan Indonesia memiliki presiden yang
berkelakuan buruk dan perlu diturunkan, rakyat yang sudah bosan dan kebal dengan
wacana pemakzulan ini tak akan lagi memberikan perhatian. Bila saat itu tiba,
siapa yang perlu disalahkan?
Jangan sampai “pemakzulan” bernasib seperti anak yang berteriak “serigala.”