Sabtu, 17 November 2012

Gokil Dad : Diarinya Bapak Keren


Buku ini termasuk dalam personal literatur (Pelit), genre baru dalam dunia perbukuan. Kekuatan buku bergenre personal literaturvterletak pada materi dan cara bertutur penulis. Dan hal itulah yang ditemukan pada buku Gokil Dad ini. Penulis bertutur dengan gaya komedi atau yang dalam bahasa gaul disebut "ngocol". Penulis buku ini sendiri sudah terkenal dengan buku-buku fiksi komedinya seperti Suster Nengok, Pulau Huntu, Tikil, dan lain-lain.
Setelah membaca buku ini, bisa ditarik kesimpulan cerita-cerita yang disajikan terbagi dalam dua kategori : cerita yang benar-benar lucu dan cerita yang tidak lucu. Cerita yang benar-benar lucu, misalnya cerita yang kejadiannya memang lucu dan dituliskan dengan gaya komedi sehingga saat membaca membuat kita tertawa tergelak. Coba saja baca cerita tentang saat penulis salah memilih kuping saat mengadzani putri pertamanya atau cerita tentang misteri popok yang hilang. Dan kebingungan Iwok ketika disuruh memperbaiki listrik rumah mertuanya, yang mengakibatkannya harus kehilangan uang Rp 50 ribu untuk membeli 2 unit sekering.
Lalu bagaimana dengan cerita yang tidak lucu ? Cerita yang tidak lucu ini adalah cerita yang juga dialami banyak orang, hal yang biasa terjadi, namun lewat gaya bertutur Iwok Abqary, cerita biasa dan tidak lucu itu menjadi cerita yang menarik dan lucu membuat pembacanya tersenyum. Misalnya saja, tidak semua laki-laki yang memiliki kendaraan peduli dengan kendaraannya, tapi tidak semua sekonyol Iwok yang mempunyai motto yang penting masih bisa dipakai dan jalan, tancap terus!
Buku yang benar-benar menghibur, ringan dan tidak perlu mengerutkan kening untuk membacanya. Apalagi jika melihat cover buku yang dikemas menarik. Buat para pria yang terinspirasi menuliskan pengalamannya sebagai suami dan ayah, bisa menjadikan buku ini sebagai referensi.

Penulis  : Iwok Abqary
Penyunting : Tka
Penerbit : Gradien Mediatama
Ukuran  : 13 x 19 cm
Tebal  : 160 halaman 
Kategori : Nonfiksi/Inspirasional/Komedi
Terbit  : Maret 2009



Warisan Gus Dur: Wacana Pemakzulan Dalam Politik Indonesia


Indonesia mungkin salah satu negara terajaib di dunia, di mana hampir setiap minggu terjadi wacana pemakzulan (impeachment) kepada presiden dengan alasan apa pun, dari ketidakmampuan untuk mengangkat harkat rakyat miskin, kerusuhan agama, sampai karena presiden tidak mau (atau tidak mampu secara hukum) untuk membubarkan Ahmadiyah. Fenomena ini terjadi karena dua hal: pertama adalah karena kesuksesan para politisi dalam memakzulkan Gus Dur dan karena popularitas SBY yang dianggap terlalu tinggi.
Tulisan singkat ini akan membahas kedua penyebab fenomena itu dan kemudian dilanjutkan dengan implikasi dari wacana pemakzulan ini. Intinya, walaupun wacana pemakzulan dikumandangkan sebetulnya untuk mencegah berdirinya kembali sebuah pemerintahan otoriter ala Orde Baru, tapi dampaknya justru akan mengurangi keseriusan dari proses pemakzulan itu sendiri, dan ujungnya akan berbahaya untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Asal mula fenomena pemakzulan bisa dilacak dari pada saat kejatuhan Pemerintahan Gus Dur, di mana elit-elit politik Indonesia, yang sudah gerah atas tingkah laku Gus Dur, dengan menggunakan alasan skandal korupsi Bulogate, bersepakat untuk menjatuhkan Gus Dur. Jatuhnya Gus Dur sendiri, walau dipengaruhi banyak faktor, terutama dengan bersatunya semua kelompok politik Indonesia dan tentara Indonesia, menjadi sebuah tonggak sejarah penting. Bahwa pertama kalinya seorang presiden atau pemimpin di Indonesia bisa dijatuhkan lewat jalur hukum, tanpa kekerasan, tanpa menggunakan jalur kudeta, dan setelah kejatuhannya pun, tak ada kekacauan, perang saudara, krisis berkelanjutan dan sebagainya.
Rupanya, presiden bukan lagi seorang tokoh yang tak bisa diganggu gugat, ala Sukarno atau Suharto, tapi hanya seorang politisi biasa.
Karena proses dan kesudahan dari jatuhnya Gus Dur relatif mulus (juga disebabkan karena Gus Dur memang Gus Dur, tak peduli tapi sekaligus berjiwa besar),  maka pemakzulan menjadi dianggap alat politik yang normal. Wacana pemakzulan pun masuk ke kancah perbendaharaan politik Indonesia, di mana untuk mengontrol tingkah laku seorang presiden, wacana pemakzulan selalu dikumandangkan.
Tak heran, sewaktu SBY terpilih dengan angka yang cukup tinggi (62%) dan popularitasnya yang kelihatannya terus tinggi di masyarakat, wacana pemakzulan pun semakin rajin dikumandangkan. Kelihatannya memang ada ketakutan bahwa SBY, dengan popularitasnya yang tinggi, akan mencoba menggunakan popularitasnya tersebut untuk mengubah konstitusi, membuat dirinya bisa terpilih terus, atau melakukan kudeta eksekutif, seperti dengan Dekrit, yang dilakukan Sukarno di tahun 1959. Apalagi mengingat DPR, yang seharusnya menjadi pengawas dan pengontrol fungsi badan eksekutif, justru mengalami penurunan popularitas yang luar biasa, sampai meraih angka 20%.
Di saat badan eksekutif terlalu kuat dan populer, maka ancaman pemakzulan pun terus dikumandangkan untuk memberikan peringatan kepada eksekutif bahwa jangan sampai ia mencoba menjadi Tuhan.Apalagi mengingat SBY memang terlalu berhati-hati, kelihatannya para politisi menemukan senjata konta yang bisa membuat SBY diam seribu bahasa dan tak mampu untuk mengubah popularitas yang begitu tinggi menjadi mandat untuk bertindak tegas dan melakukan terobosan-terobosan kontroversial tapi diperlukan untuk bangsa.
Bahwa SBY pun masih merasa perlu untuk menjawab tantangan dari organisasi sekelas FPI soal wacana pemakzulan, memperlihatkan bahwa wacana pemakzulan memang sangat ditakuti dan bisa menjadi senjata bagi ormas-ormas lain yang ingin didengar.
Namun yang menjadi permasalahan adalah semakin masuknya wacana pemakzulan ke kosa kata perpolitikan Indonesia, semakin ide pemakzulan itu sendiri kehilangan kredibilitasnya dan kewibawaannya. Bahwa organisasi jalanan seperti FPI berani menggunakan kata pemakzulan kepada pemerintah yang dipilih dengan sah melalui pemilu, memperlihatkan bahwa pemakzulan pun sudah kehilangan makna sakralnya.
Pemakzulan harusnya menjadi alat kontrol paling ujung DPR dan MPR kepada eksekutif, semacam tombol yang meledakkan bom nuklir. Jika wacana pemakzulan ini terlalu sering dilempar ke luar, akibatnya adalah masyarakat pun tak lagi menganggap pemakzulan adalah hal yang serius. Pemakzulan bukan lagi pilihan terakhir untuk mengekang badan eksekutif yang dianggap sudah melanggar tatanan hukum dan peraturan. Pemakzulan menjadi alat pemaksaan, bahwa karena saya bisa memakzulkan kamu, kamu harus tunduk. Itu bukan demokrasi. Itu adalah ciri negara yang tak tahu hukum dan peraturan.
Penurunan derajat kata “pemakzulan,” dari alat untuk mengontrol pemerintah menjadi alat untuk lempar-lemparan lumpur dan bahasa jalanan sebuah organisasi preman, yang mewakili mungkin hanya seperseratus dari seperseribu rakyat Indonesia yang mayoritas adalah moderat dan justru menentang aksi-aksi anarkis yang belakangan ini terjadi, merupakan sebuah gejala yang sangat buruk dan merusak kredibilitas istilah ini.
Bahkan jika memang di masa depan Indonesia memiliki presiden yang berkelakuan buruk dan perlu diturunkan, rakyat yang sudah bosan dan kebal dengan wacana pemakzulan ini tak akan lagi memberikan perhatian. Bila saat itu tiba, siapa yang perlu disalahkan?
Jangan sampai “pemakzulan” bernasib seperti anak yang berteriak “serigala.”