Sabtu, 17 November 2012

Warisan Gus Dur: Wacana Pemakzulan Dalam Politik Indonesia


Indonesia mungkin salah satu negara terajaib di dunia, di mana hampir setiap minggu terjadi wacana pemakzulan (impeachment) kepada presiden dengan alasan apa pun, dari ketidakmampuan untuk mengangkat harkat rakyat miskin, kerusuhan agama, sampai karena presiden tidak mau (atau tidak mampu secara hukum) untuk membubarkan Ahmadiyah. Fenomena ini terjadi karena dua hal: pertama adalah karena kesuksesan para politisi dalam memakzulkan Gus Dur dan karena popularitas SBY yang dianggap terlalu tinggi.
Tulisan singkat ini akan membahas kedua penyebab fenomena itu dan kemudian dilanjutkan dengan implikasi dari wacana pemakzulan ini. Intinya, walaupun wacana pemakzulan dikumandangkan sebetulnya untuk mencegah berdirinya kembali sebuah pemerintahan otoriter ala Orde Baru, tapi dampaknya justru akan mengurangi keseriusan dari proses pemakzulan itu sendiri, dan ujungnya akan berbahaya untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Asal mula fenomena pemakzulan bisa dilacak dari pada saat kejatuhan Pemerintahan Gus Dur, di mana elit-elit politik Indonesia, yang sudah gerah atas tingkah laku Gus Dur, dengan menggunakan alasan skandal korupsi Bulogate, bersepakat untuk menjatuhkan Gus Dur. Jatuhnya Gus Dur sendiri, walau dipengaruhi banyak faktor, terutama dengan bersatunya semua kelompok politik Indonesia dan tentara Indonesia, menjadi sebuah tonggak sejarah penting. Bahwa pertama kalinya seorang presiden atau pemimpin di Indonesia bisa dijatuhkan lewat jalur hukum, tanpa kekerasan, tanpa menggunakan jalur kudeta, dan setelah kejatuhannya pun, tak ada kekacauan, perang saudara, krisis berkelanjutan dan sebagainya.
Rupanya, presiden bukan lagi seorang tokoh yang tak bisa diganggu gugat, ala Sukarno atau Suharto, tapi hanya seorang politisi biasa.
Karena proses dan kesudahan dari jatuhnya Gus Dur relatif mulus (juga disebabkan karena Gus Dur memang Gus Dur, tak peduli tapi sekaligus berjiwa besar),  maka pemakzulan menjadi dianggap alat politik yang normal. Wacana pemakzulan pun masuk ke kancah perbendaharaan politik Indonesia, di mana untuk mengontrol tingkah laku seorang presiden, wacana pemakzulan selalu dikumandangkan.
Tak heran, sewaktu SBY terpilih dengan angka yang cukup tinggi (62%) dan popularitasnya yang kelihatannya terus tinggi di masyarakat, wacana pemakzulan pun semakin rajin dikumandangkan. Kelihatannya memang ada ketakutan bahwa SBY, dengan popularitasnya yang tinggi, akan mencoba menggunakan popularitasnya tersebut untuk mengubah konstitusi, membuat dirinya bisa terpilih terus, atau melakukan kudeta eksekutif, seperti dengan Dekrit, yang dilakukan Sukarno di tahun 1959. Apalagi mengingat DPR, yang seharusnya menjadi pengawas dan pengontrol fungsi badan eksekutif, justru mengalami penurunan popularitas yang luar biasa, sampai meraih angka 20%.
Di saat badan eksekutif terlalu kuat dan populer, maka ancaman pemakzulan pun terus dikumandangkan untuk memberikan peringatan kepada eksekutif bahwa jangan sampai ia mencoba menjadi Tuhan.Apalagi mengingat SBY memang terlalu berhati-hati, kelihatannya para politisi menemukan senjata konta yang bisa membuat SBY diam seribu bahasa dan tak mampu untuk mengubah popularitas yang begitu tinggi menjadi mandat untuk bertindak tegas dan melakukan terobosan-terobosan kontroversial tapi diperlukan untuk bangsa.
Bahwa SBY pun masih merasa perlu untuk menjawab tantangan dari organisasi sekelas FPI soal wacana pemakzulan, memperlihatkan bahwa wacana pemakzulan memang sangat ditakuti dan bisa menjadi senjata bagi ormas-ormas lain yang ingin didengar.
Namun yang menjadi permasalahan adalah semakin masuknya wacana pemakzulan ke kosa kata perpolitikan Indonesia, semakin ide pemakzulan itu sendiri kehilangan kredibilitasnya dan kewibawaannya. Bahwa organisasi jalanan seperti FPI berani menggunakan kata pemakzulan kepada pemerintah yang dipilih dengan sah melalui pemilu, memperlihatkan bahwa pemakzulan pun sudah kehilangan makna sakralnya.
Pemakzulan harusnya menjadi alat kontrol paling ujung DPR dan MPR kepada eksekutif, semacam tombol yang meledakkan bom nuklir. Jika wacana pemakzulan ini terlalu sering dilempar ke luar, akibatnya adalah masyarakat pun tak lagi menganggap pemakzulan adalah hal yang serius. Pemakzulan bukan lagi pilihan terakhir untuk mengekang badan eksekutif yang dianggap sudah melanggar tatanan hukum dan peraturan. Pemakzulan menjadi alat pemaksaan, bahwa karena saya bisa memakzulkan kamu, kamu harus tunduk. Itu bukan demokrasi. Itu adalah ciri negara yang tak tahu hukum dan peraturan.
Penurunan derajat kata “pemakzulan,” dari alat untuk mengontrol pemerintah menjadi alat untuk lempar-lemparan lumpur dan bahasa jalanan sebuah organisasi preman, yang mewakili mungkin hanya seperseratus dari seperseribu rakyat Indonesia yang mayoritas adalah moderat dan justru menentang aksi-aksi anarkis yang belakangan ini terjadi, merupakan sebuah gejala yang sangat buruk dan merusak kredibilitas istilah ini.
Bahkan jika memang di masa depan Indonesia memiliki presiden yang berkelakuan buruk dan perlu diturunkan, rakyat yang sudah bosan dan kebal dengan wacana pemakzulan ini tak akan lagi memberikan perhatian. Bila saat itu tiba, siapa yang perlu disalahkan?
Jangan sampai “pemakzulan” bernasib seperti anak yang berteriak “serigala.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar