Gontor Lama
Gontor adalah sebuah desa yang kemudian didirikan pondok pesantren, tempatnya terletak kurang lebih 3 KM sebelah timur Tegalsari dan 11 KM kearah tenggara dari kota Ponorogo. Pada saat itu Gontor masih merupakan kawasan hutan yang dikenal sebagai tempat persembunyian perampok, penjahat, penyamuan, pemabuk dan dll.
Ditempat inilah Kyai muda Sulaiman Jamaluddin berjuang mengembangkan pondoknya dengan pesat, dan lebih berkembang lagi ketika dipimpin oleh putera beliau Kyai Archam Anom Besari. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai daerah Jawa serta Pasundan Jawa Barat. Setelah Kyai Archam wafat pondok dilanjutkan oleh Kyai Santoso Anom Besari yang merupakan generasi ketiga dari pendiri Gontor yang lama. Pada kepemimpinan generasi ketiga inilah Gontor mulai surut dari kegiatan pendidikan maupun pengajaran disebabkan kurangnya kaderisasi. Namun beliau tetap menjadi figure tokoh didaerah tersebut. Namun dalam usianya yang belum lanjut beliau dipanggil oleh Allah SWT, setelah wafatnya Kyai Santoso Anom Besari masa kejayaan Gontor sudah benar-benar sirna tidak ada lagi yang sanggup untuk mempertahankan keberadaan pondok.
Yang tinggal hanyalah janda Kyai Santoso beserta tujuh putera dan puterinya dengan peninggalan sebuah rumah sederhana dan mesjid tua warisan nenek moyangnya. Tetapi rupanya Nyai Santoso tidak pupus harapan melihat Gontor lenyap di telan sejarah. Ia bekerja keras mendidik anak-anaknya agar dapat meneruskan nenek moyangnya, yaitu menghidupkan Gontor kembali. Ibu Nyai Santoso itupun kemudian memasukkan tiga puteranya kebeberapa lembaga pendidikan. Mereka adalah Ahmad Sahal (anak kelima), Zainuddin Fannani (anak keenam), dan Imam Zarkasyi (anak bungsu). Sayangnya Ibu Nyai tidak bisa melihat kebangkitan Gontor ditangan ketiga puteranya. Seiring berjalannya waktu yang cepat dan sepeninggal Kyai Santoso Anom Besari dan seiring dengan runtuhnya kejayaan Pondok Gontor lama, maka suasana religius yang dulu berubah menjadi tempat masyarakat yang anti agama. Kehidupan mo-limo: maling (mencuri), madon (main perempuan), madat (menghisap rokok), mabuk, dan main (berjudi) telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Ditambah lagi dengan mewabahnya tradisi gemblakan dikalangan para warok.
Membangun Kembali Citra Pondok Gontor
Ketiga putra Ibu Nyai Santoso yang dikirim ke beberapa lembaga pendidikan terus memperdalami ilmu. Ibu Nyai Santosa tidak pernah berhenti berdoa kepada Allah. Agar ketiga putranya untuk kelak dapat menghidupkan kembali pondok Gontor yang telah lama runtuh. Berkat pendidikan, pengarahan, dan doa yang tulus serta ikhlas dari sang ibu serta kesungguhan ketiga putranya itu. Akhirnya Allah membuka hati ketiga putranya untuk menghidupkan kembali pondok pesantren yang telah lama mati itu. Sehingga pada tanggal 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal 1345 H di dalam peringatan Maulid Nabi di hadapan masyarakat yang hadir pada kesempatan itu di deklarasikan pembukaan kembali Pondok Gontor:
Pembukaan Tarbiyatul Athfal (TA) 1926, langkah pertama untuk menghidupkan kembali pondok adalah dengan membuka TA suatu program pendidikan anak-anak untuk masyarakat Gontor. Sedangkan materi, sarana dan prasana pendidikannya sangat sederhana semuanya dilakukan dengan modal seadanya. Tetapi dengan kesungguhan keuletan, kesabaran serta keikhlasan pengasuh Gontor baru.
Setelah lembaga pendidikan TA yang berlangsung selam 6 tahun berhasil menamatkan muridnya, kemudian KH. Ahmad Sahal membuka program lanjutan Sullamul Muta’allim (tangga Para Pelajar). Pada tingkatan ini santri diajari secara lebih dalam dan luas pelajaran fiqih, hadis, tafsir, terjemah, al-Qur’an, cara berpidato, cara membahas persoalan, juga bekal untuk menjadi seorang guru. Usaha Pengasuh Pondok untuk membangkitkan gairah masyarakat Gontor dan sekitarnya sudah tampak membuahkan hasil. Para alumni TA dan SM Gontor kini menjadi tulang punggung dari berlangsungnya proses belajar mengajar di madarasah-madrasah itu, maka dibentuklah sebuah wadah yang menggabungkan seluruh TA, yaitu Taman Perguruan Islam yang dipimpin oleh Pak Sahal.
Pembukaan Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah merupakan pengaruh angin segar dari TA yang menggugah minat belajar para santri, karena setelah lebih dari satu dasawarsa lembaga ini telah mencetak para kader, muballigh di tingkat desa yang tersebar di sekitar Gontor.
Perkembangan tersebut cukup menggembirakan hati pengasuh pesantren yang dibuka kembali. Terlebih saat KH. Imam Zarkasyi kembali dari belajarnya di berbagai pesantren dan lembaga pendidikan di Jawa dan Sumatra 1935. Beliau mulai membenahi sistem pendidikan serta kepengasuhan pondok. Dalam peringatan 10 tahun Pondok Gontor tercetus kembali nama baru yang kini melekat di hati amsyarakat yairu Pondok Modern Darussalam Gontor, Darussalam artinya kampung nan Damai.
Sedangkan KMI adalah sekolah pendidikan guru Islam yang modelnya hamper sama dengan Sekolah Pendidikan Padang Panjang dimana Pak Zar menimba ilmu. Model ini kemudian diintegrasikan dengan pendidikan model pesantren. Pelajaran agama dan umum seimbang yang diajarkan ditiap-tiap kelas. Namun pada saat yang sama santri tinggal di pondok selama 24 jam.
Pada tahun pertama pembukaan program ini sambutan masyarakat belum memuaskan. Bahkan tidak sedikit kritik dan ejekan yang dialamatkan kepada program baru. Sistem belajar yang klasikal, pembelajarn kitab kuning, komunikasi bahasa Arab, Inggris dan Belanda ketika itu masih dianggap tabu. Karena bahasa Arab adalah bahasa orang Islam, sedangkan bahasa Inggris dan Belanda adalah bahasa orang kafir.
Masih asingnya sistem pendidikan baru ini menyebabkan merosotnya jumlah santri Gontor. Santri Gontor yang jumlahnya ratusan kini tinggal 16 orang. Tetapi keadaan ini tidak mematahkan semangat Pak Zar, beliau bertekad dan mengatakan: Biarpun tinggal satu saja dari 16 orang ini, program akan tetap kami jalankan sampai selesai, namun yang stau itulah nantinyaakan mewujudkan 10…100 hingga 1000 orang. Allah rupanya mendengar doa para bapak pengasuh. Sehingga pada tahun kedua, mulai datang para santri dari Kalimantan, Sumatra, dan dari berbagai pelosok tanah Jawa. Gontor mulai rama oleh kehadiran para santri yang semakin banyak. Selain itu perkembangan pondok juga didukung dengan empat sintesa pondok yang dijadikan tolak ukur dasar kemajuan pondok dengan penjelasan sebagai berikut, yaitu:
Sintesa Pondok
Al-Azhar
terkenal dengan wakaf abadinya bahkan wakaf tersebut tak hanya mampu memenuhi biaya operasional kampus, namun juga memberikan beasiswa kepada para mahasiswanya. Selain itu Al-Azhar menjadi pusat kebudayaan dan pendidikan Islam.
Al-Azhar termasuk perguruan tinggi tertua di dunia. Usianya lebih dari 1030 tahun kelahiran Al-Azhar, menurut sebuah situs di internet tak bisa dipisahkan dari peran dinasti Fatimiyyah yang kalah itu dipimpin oleh Khalifah Mu’iz li Dinillah Mua’dz Bin Al-Mansur (319-365 H/ 1931-1975M). Dia adalah khalifah keempat dari dinasti Fathimiyyah. Pada awal pemerintahannya, dibangunlah kota Kairo, bersamaan dengan mesjid. Fungsi mesjid saat itu sebatas sebagai tempat ibadah ritual.
Pada masa khalifah Al-Aziz Billah sekeliling mesjid dibangun beberapa istana yang disebut al-qushur Az-Zahiroh. Istana itu sebagian besar berada di sebelah timur, kini sebelah barat Husein, sedangkan beberapa sisanya yang kecil di sebelah barat. Kedua Istana dipisahkan oleh sebuah taman nan indah.
Penggagas pertama wakaf dipelopori oleh Khalifah al-Hakim bin Amrillah. Lalu diikuti para Khalifah berikutnya, serta orang-orang kaya setempat dan dari seluruh dunia Islam sampai saat ini.
Kabarnya, harta wakaf tersebut pernah mencapai sepertiga dari kekayaan Mesir. Al-Azhar saat ini memiliki kurang lebih 60 fakultas baik agama mapun umum. Universitasnya tak hanya terdapat di Kairo tapi juga di 27 propinsi di Mesir.
Aligarh,
sejarah Alighar muslim University atau AMU sangat terkait dengan Syeikh Akhmad Khan (1817-1898) seorang keturunan Arab yang menjadi tokoh pembaru dikalangan umat Islam India pada abad ke-19. Dia lahir di New Delhi India. Gelar Sir diberikan oleh pemerintah Inggris pada 1969 atas jasanya melepaskan orang-orang Inggris yang teraniaya di Bignaur.
Sejak kecil beliau diajarkan agama secara tradisional oleh ayahnya. Disamping itu ia juga mempelajari bahasa Persia dan Arab, matematika , mekanika, sejarah, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Ia juga banyak membaca buku-buku ilmu pengetahuan di berbagai bidang.
Ini menjadikannya seorang yang berpengetahuan luas, berfikiran maju, dan dapat menerima ilmu pengetahuan modern. Pada masa penjajahan Inggris di India, Ahkmad Khan sangat prihatin melihat ketertinggalan, umat Islam dibanding umat Hindu di India, ketertinggalan ini disebabkan umat Islam tak memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebagaimana yang dimiliki bangsa Eropa.
Karena itulah saat berkunjung ke Inggris 1869-1870, beliau menyiapkan rencana untuk mendirikan institusi pendidikan besar yang diharapkan akan menjadi Chambrigenya umat Islam. Ia menerbitkan jurnal reformasi sosial dengan tujuan mengangkat dan mereformasi umat Islam. Selanjutnya ia mendidikan sebuah sekolah muslim di Alighar pada Mei 1875. Setahun kemudian ia mencurahkan waktunya untuk memperluas sekolah tersebut menjadi sebuah collage yang berfungsi mendidik para sarjana dan pemimpin muslim yang sanggup mewujudkan masyarakat Islam yang modern. Pada tahun 1877, Gubernur Jendral Viceroy dari Inggris yang meletakkan batu pertama pendirian Collage tersebut.
Sejumlah tokoh penting yang pernah belajar di sana ialah Tokoh pergerakan nomor satu di India Mahatma Gandhi dan Ishwari Prasad mantan presiden India, Zakir Hussain, dan presiden Maldives, Abdul Ghayoom. Kini fakultasnya terdiri dari 12 jurusan serta mahasiswa/i berdatangan dari seluruh dunia.
Shanti Niketan, perguruan Shanti Niketan terletak di Balpor sekitar 100 mil drai Calcuta, India. Perguruan ini didirikan pada tahun 1900 oleh tokoh pendidikan dan kebudayan Rabindranath Tagore (1861-1941). Ia dikenal tokoh kesusteraan dan pernah meraih nobel untuk bidang itu. Ia pernah keliling Amerika, Eropa, Tiongkok, Jepang, dan Iran untuk berceramah tentang kesusteraan India. Ia sempat mengunjungi Taman Siswa Yogyakarta tahun 1927. Pada tahun 1921 perguruan ini berkembang menjadi Universitas Internasional bernama Vishma Bharati. Banyak tokoh Hindu dan seniman dari seluruh penjuru dunia belajar di perguruan tinggi ini begitu juga dengan Indira Ghandi. Walaupun Shanti Niketan memiliki latar belakang Hindu, namun menurut Dihyatun Masqon, Ph. D salah seorang dosen Institut Islam Darussalam Gontor yang pernah mengunjungi perguruan tinggi itu mereka mempunyai nilai-nilai yang harus ditiru, misalnya: kesederhanaan, kekeluargaan, dan kedamaian melalui sistem asrama dalam mempererat hubungan guru dan murid. Selain itu para siswa tidak dipungut biaya, proses belajar mengajar dilakukan di alam bebas.
Syanggit, konon kabarnya almarhum Prof. Dr. Mahmud Yunus pernah belajar di Syanggit, lembaga pendidikan Islam di Afrika Utara. Mengapa Syanggit begitu dikenal? Menurut Ust. Dihyatun Masqon, lembaga pendidikan ini konsisten dalm mengajarkan kedermawanan dan keikhlasan. Ini tercermin pada sikap dan prilaku pemimpin dan guru-gurunya mereka saling terbuka satu sama lain. Syangit, yang juga dikenal sebagai benteng pertahanan Islam di Afrika, terletak di negara bekas jajahan Belanda, Mauritenia. Tokoh yang terkenal di sekolah ini adalah Abdurrahman Singkity.
Demikianlah lintas sejarah Pondok Modern Darussalam Gontor yang dibangun atas dasar keihklasan, keserhanaan dan kemasyarakat melalui sistem pesantren atau asrama dan memadukan pendidikan umum dan agama. Dan alhamdulillah kini Gontor telah berhasil mencetak kader-kader umat serta bangsa yang tersebar di berbagai lembaga pendidikan, sosial, politik maupun ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar